mi darul fathi jl. dabang bulung klampis bangkalan jawa timur

Berjasalah Tapi Jangan Minta Jasa

Senin, 07 September 2009

Aku Malu Jadi Orang Madura


Oleh: Badrus Syamsi, MA (Madura Asli)

Di sini
Perkenankan aku berseru:
- madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku...
di ubun langit kuucapkan sumpah:
- madura, akulah darahmu.
(D. Zawawi Imron, 1996)
Terdapat sebuah stigma sosial yang sudah lama dipergunakan ‘orang luar’ untuk mengidentifikasi masyarakat Madura hingga kini, yaitu keterbelakangan dan kekerasan. Dua label yang belum tentu benar itu selalu muncul ketika orang-orang berbicara tentang Madura dan masyarakatnya. Stigma ini sering terdengar oleh penulis yang pernah hidup dan dibesarkan di luar Madura.
Kekasaran seakan-akan menjadi atribut yang melekat dalam jati diri masyarakat Madura. Banyak orang mencitrakan masyarakat dan kebudayaan Madura dengan sikap serba sangar, mudah menggunakan senjata dalam penyelesaian masalah (carok), pendendam dan tidak mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Begitulah anggapan mereka pada umumnya.
Ada yang mengaitkan citra kekasaran masyarakat Madura dengan pengalaman masa lalu.Di masa kapitalisme kolonial, masyarakat Madura mengalami proses eksploatasi dan dehumanisasi. Perlakuan itu melahirkan perilaku kriminal di tengah masyarakat.
Meskipun penulis sulit membantah bahwa kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan orang Madura masa lalu. Jenis pekerjaan kadang mengkondisikan mereka bersikap tegas, berani, dan terkadang berlaku kasar agar tetap eksis. Dalam kasus-kasus tertentu, temperamen orang-orang Madura yang ’serba keras’ itu dan itu memang penulis akui, tapi itu bisa dimanfatkan untuk menekan lawan (premanisme) dalam menyelesaikan masalah.
Sebenarnya kalau kita boleh bangga, mengutip seorang peneliti luar, Mien A. Rifai mengatakan Madura bukan pulau melainkan benua. Madura memang kecil, tetapi unsur-unsur kebudayaannya sangat kaya. Mungkin karena kuatnya pencitraan negatif tersebut, sebagian orang-orang Madura di perantauan, terutama kaum terpelajar, mahasiswa merasa malu menunjukkan jati dirinya sebagai orang Madura. Kasus ini ini terjadi terhadap teman-teman dan saudara penulis yang malu mengaku berasal dari Madura (di alamat face book mereka jarang mencantumkan berasal dari madura)
Wahai saudar-saudaraku...
Kita harus sadar kebudayaan Madura menghadapi tantangan dahsyat dewasa ini. Sedangkan tantangan yang paling utama adalah pemuda Madura malu mengaku orang Madura bahkan sudah tidak mau berbahasa Madura lagi (katanya tidak gaul). Kedua, bagaimana menghapus stereotipe negatif yang sudah terlanjur lengket di benak banyak orang tentang masyarakat Madura yang keras. Inilah saatnya teman-teman dan saudara-saudaraku untuk menjawab tantangan dengan menunjukkan identitas kalian dan jangan suka bersembunyi dan bangga dengan identitas orang lain.
Terakhir, penulis sangat berterima kasih kepada para tokoh, teman-teman dan saudara-saudaraku yang ada diluar Madura yang masih peduli akan daerahnya, marilah kita bangkit bahwa kita bisa menjadi daerah yang disegani dan dihormati di seluruh dunia. Kawan Madura akan selalu menunggu kiprahmu dalam rangka membangun tempat kelahiranmu. Salam Madura. Semoga bermanfaat.